- bebas dari korupsi dan wilayah birokrasi bersih dan melayani akan tercapai dengan merubah sistim pelayanan - peta wilayah kantor

Minggu, 15 November 2009

Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)

Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas

WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020 (. Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan missal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular : Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat berperan sebagai vector penular penyakit kaki gajah.

Cara Penularan :
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3 ? 5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

Diagnosis
Filariasis dapat ditegakkan secara Klinis ; yaitu bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan tanda-tanda dan gejala akut ataupun kronis ; dengan pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria. Pencegahan ; adalah dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector ( mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu bula akan sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk baker, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk ; dengan membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah.

Pengobatan :
secara massal dilakukan didaeah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albenzol sekali setahun selama 5 ? 10 tahun, untuk mencegah reaksi samping seperti demam, diberikan Parasetamol ; dosis obat untuk sekali minum adalah, DEC 6 mg/kg/berat badan, Albenzol 400 mg albenzol (1 tablet ) ; pengobatan missal dihentikan apabila Mf rate sudah mencapai < 1 % ; secara individual / selektif; dilakukan pada kasus klinis, baik stadium dini maupun stadium lanjut, jenis dan obat tergantung dari keadaan kasus.

Sumber berita

Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)

Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas

WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020 (. Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan missal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular : Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat berperan sebagai vector penular penyakit kaki gajah.

Cara Penularan :
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3 ? 5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).

Diagnosis
Filariasis dapat ditegakkan secara Klinis ; yaitu bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan tanda-tanda dan gejala akut ataupun kronis ; dengan pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria. Pencegahan ; adalah dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector ( mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu bula akan sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk baker, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk, atau dengan cara memberantas nyamuk ; dengan membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk ; membersihkan semak-semak disekitar rumah.

Pengobatan :
secara massal dilakukan didaeah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albenzol sekali setahun selama 5 ? 10 tahun, untuk mencegah reaksi samping seperti demam, diberikan Parasetamol ; dosis obat untuk sekali minum adalah, DEC 6 mg/kg/berat badan, Albenzol 400 mg albenzol (1 tablet ) ; pengobatan missal dihentikan apabila Mf rate sudah mencapai < 1 % ; secara individual / selektif; dilakukan pada kasus klinis, baik stadium dini maupun stadium lanjut, jenis dan obat tergantung dari keadaan kasus.

Sumber berita

WHO Selidiki Kematian Penderita Kaki Gajah di Bandung

TEMPO Interaktif, BANDUNG - Kematian warga yang diduga meninggal setelah pengobatan kaki gajah di Kabupaten Bandung terus bertambah. Tercatat sementara, ada 8 orang dari sebelumnya 3 orang. "WHO dan Departemen Kesehatan yang menyelidiki kematian itu," kata Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung dr. Suhardiman, Jumat (13/11).

Ditemui Tempo di kantor Dinas Kesehatan Jawa Barat seusai melapor, dia mengatakan Badan Kesehatan Dunia dan Departemen Kesehatan mencari data ke sejumlah rumah sakit yang merawat warga setelah pengobatan massal anti kaki gajah pada 10 November lalu. Kunjungan itu diantaranya ke RSUD Majalaya, tempat yang paling banyak merawat pasien karena efek samping obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazol. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung tidak ikut menyelidiki karena rumah sakit, WHO, dan Depkes lebih berwenang. "Kan obatnya juga dari WHO, kalau kita hanya membagikan saja," ujarnya. Sumber berita


Delapan orang yang meninggal sesaat dan setelah masa pengobatan massal itu sejak Selasa hingga Kamis kemarin, ujar dia, adalah Danu (52) warga Desa Majakerta Kecamatan Majalaya, Toto (69) dan Nandang (47) warga Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran, Nonoh (40) penduduk Desa Cileunyi Kulon Kecamatan Cileunyi, Ahmad Juana (47) warga Kecamatan Bojongsoang, dan Lilis (52) warga Kecamatan Banjaran. Selain itu juga Omay Komarudin (64) warga Kampung Bojongsentul Kecamatan Banjaran, dan Apeng (40) warga Kampung Babakan Cebek Kecamatan Soreang.

Suhardiman mengatakan, dua orang meninggal sebelum meminum obat anti kaki gajah, diantaranya karena terjatuh dari pohon. Sedangkan enam orang lainnya dilaporkan sempat meminum obat itu. Dari hasil rontgen dan sampel darah pasien ketika sempat dirawat di RS Majalaya dan Soreang sebelum meninggal, mereka ternyata diketahui mengidap penyakit kronis seperti jantung dan darah tinggi. Gangguan itu selama ini hanya dirasakan dan ada juga yang tidak mengetahuinya sama sekali. "Ketahuannya baru di rumah sakit," ujarnya.

Tapi dia membantah kematian itu karena dipicu efek samping obat. Padahal sesuai anjuran, pengidap penyakit kronis itu dilarang meminumnya, begitu juga untuk anak dibawah usia 2 tahun, ibu hamil atau sedang menyusui, serta pasien diabetes. Penderita penyakit kronis, katanya, dibolehkan meminum obat asal kondisinya sedang baik. "Kasus itu bisa dibilang kejadian ikutan pasca minum obat (KIPMO)," katanya.

Sejauh ini, jumlah peminum obat anti kaki gajah itu baru mencapai 70 persen dari 2,7 juta warga sasaran di seluruh kecamatan. Sedangkan yang sudah dirawat di sejumlah rumah sakit sejak Selasa lalu sampai Jumat pukul 9 pagi tadi sudah mencapai 800 orang lebih. Keluhan warga paling banyak adalah mual, muntah, disertai pusing. Soal membludaknya pasien itu, kata dia, berarti sudah banyak warga yang selama ini mengidap cacing kaki gajah di tubuhnya dan kini mulai tersembuhkan.

Sedangkan Direktur Umum Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin dr Cissy RS. Kantaprawira mengatakan, pihaknya sudah membentuk tim untuk membantu penanganan kasus dampak pengobatan massal kaki gajah itu. Beranggotakan 5 dokter spesialis penyakit dalam, anak, farmakologi, dan forensik, tim mulai bekerja sejak Rabu lalu. Khusus penyelidikan sebab kematian, dokter forensik tidak melakukan otopsi karena jasad langsung dimakamkan keluarganya. "Paling kami hanya bisa melakukan otopsi herbal, mencari tahu obat apa saja yang dipakai dan riwayat kesehatannya," ujarnya saat dihubungi Tempo.

Pada 10 Nobember lalu, Bupati Bandung Obar Sobarna mencanangkan pengobatan massal untuk memberantas penyakit kaki gajah di wilayahnya. Saat ini tercatat ada 31 pengidap kaki gajah di 15 daerah endemis dari 31 kecamatan. Selang beberapa jam setelah pengobatan dengan cara pembagian 3 tablet Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan sebutir Albendazol itu oleh 12 ribu kader PKK dan Posyandunssrta tokoh masyarakat, puluhan warga yang mengeluhkan efek samping obat bergegas memeriksakan diri ke rumah sakit.

WHO Selidiki Kematian Penderita Kaki Gajah di Bandung

TEMPO Interaktif, BANDUNG - Kematian warga yang diduga meninggal setelah pengobatan kaki gajah di Kabupaten Bandung terus bertambah. Tercatat sementara, ada 8 orang dari sebelumnya 3 orang. "WHO dan Departemen Kesehatan yang menyelidiki kematian itu," kata Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung dr. Suhardiman, Jumat (13/11).

Ditemui Tempo di kantor Dinas Kesehatan Jawa Barat seusai melapor, dia mengatakan Badan Kesehatan Dunia dan Departemen Kesehatan mencari data ke sejumlah rumah sakit yang merawat warga setelah pengobatan massal anti kaki gajah pada 10 November lalu. Kunjungan itu diantaranya ke RSUD Majalaya, tempat yang paling banyak merawat pasien karena efek samping obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazol. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung tidak ikut menyelidiki karena rumah sakit, WHO, dan Depkes lebih berwenang. "Kan obatnya juga dari WHO, kalau kita hanya membagikan saja," ujarnya. Sumber berita


Delapan orang yang meninggal sesaat dan setelah masa pengobatan massal itu sejak Selasa hingga Kamis kemarin, ujar dia, adalah Danu (52) warga Desa Majakerta Kecamatan Majalaya, Toto (69) dan Nandang (47) warga Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran, Nonoh (40) penduduk Desa Cileunyi Kulon Kecamatan Cileunyi, Ahmad Juana (47) warga Kecamatan Bojongsoang, dan Lilis (52) warga Kecamatan Banjaran. Selain itu juga Omay Komarudin (64) warga Kampung Bojongsentul Kecamatan Banjaran, dan Apeng (40) warga Kampung Babakan Cebek Kecamatan Soreang.

Suhardiman mengatakan, dua orang meninggal sebelum meminum obat anti kaki gajah, diantaranya karena terjatuh dari pohon. Sedangkan enam orang lainnya dilaporkan sempat meminum obat itu. Dari hasil rontgen dan sampel darah pasien ketika sempat dirawat di RS Majalaya dan Soreang sebelum meninggal, mereka ternyata diketahui mengidap penyakit kronis seperti jantung dan darah tinggi. Gangguan itu selama ini hanya dirasakan dan ada juga yang tidak mengetahuinya sama sekali. "Ketahuannya baru di rumah sakit," ujarnya.

Tapi dia membantah kematian itu karena dipicu efek samping obat. Padahal sesuai anjuran, pengidap penyakit kronis itu dilarang meminumnya, begitu juga untuk anak dibawah usia 2 tahun, ibu hamil atau sedang menyusui, serta pasien diabetes. Penderita penyakit kronis, katanya, dibolehkan meminum obat asal kondisinya sedang baik. "Kasus itu bisa dibilang kejadian ikutan pasca minum obat (KIPMO)," katanya.

Sejauh ini, jumlah peminum obat anti kaki gajah itu baru mencapai 70 persen dari 2,7 juta warga sasaran di seluruh kecamatan. Sedangkan yang sudah dirawat di sejumlah rumah sakit sejak Selasa lalu sampai Jumat pukul 9 pagi tadi sudah mencapai 800 orang lebih. Keluhan warga paling banyak adalah mual, muntah, disertai pusing. Soal membludaknya pasien itu, kata dia, berarti sudah banyak warga yang selama ini mengidap cacing kaki gajah di tubuhnya dan kini mulai tersembuhkan.

Sedangkan Direktur Umum Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin dr Cissy RS. Kantaprawira mengatakan, pihaknya sudah membentuk tim untuk membantu penanganan kasus dampak pengobatan massal kaki gajah itu. Beranggotakan 5 dokter spesialis penyakit dalam, anak, farmakologi, dan forensik, tim mulai bekerja sejak Rabu lalu. Khusus penyelidikan sebab kematian, dokter forensik tidak melakukan otopsi karena jasad langsung dimakamkan keluarganya. "Paling kami hanya bisa melakukan otopsi herbal, mencari tahu obat apa saja yang dipakai dan riwayat kesehatannya," ujarnya saat dihubungi Tempo.

Pada 10 Nobember lalu, Bupati Bandung Obar Sobarna mencanangkan pengobatan massal untuk memberantas penyakit kaki gajah di wilayahnya. Saat ini tercatat ada 31 pengidap kaki gajah di 15 daerah endemis dari 31 kecamatan. Selang beberapa jam setelah pengobatan dengan cara pembagian 3 tablet Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan sebutir Albendazol itu oleh 12 ribu kader PKK dan Posyandunssrta tokoh masyarakat, puluhan warga yang mengeluhkan efek samping obat bergegas memeriksakan diri ke rumah sakit.

Peringatan HKN ke-45: Penghargaan Menkes kepada yang Berjasa di Bidang Pembangunan Kesehatan

Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH, memberikan penghargaan kepada institusi dan Individu yang telah mendukung, berkontribusi nyata, dan berprestasi dalam pembangunan kesehatan. Penghargaan disampaikan dalam rangkaian peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-45 di gedung Departemen Kesehatan (12/11, 2009).

Pemberian penghargaan di bidang pembangunan kesehatan ini diberikan secara berkala setiap tahun pada peringatan HKN sebagai salah satu wujud apresiasi pimpinan Departemen Kesehatan kepada institusi dan perorangan yang telah memberikan sumbangan nyata dalam meningkatkan pembangunan kesehatan di Indonesia.

Menkes dalam sambutannya, mengatakan “Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak semata-mata ditentukan oleh hasil kerja keras sektor kesehatan, akan tetapi dipengaruhi juga dari hasil kerja serta kontribusi positif sektor lain di luar kesehatan. Dengan demikian dukungan dan peran serta masyarakat baik perorangan maupun instansi/lembaga sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan kesehatan.”

Menurut Menkes, momentum peringatan HKN ke-45 tahun 2009 ini kita harus diupayakan secara terus menerus untuk melakukan peningkatan dan perbaikan dalam meningkatkan lingkungan sehat seperti yang sudah ditargetkan dalam program 100 hari bidang kesehatan.

Salah satu indikator kinerja Departemen Kesehatan, yaitu pada Januari 2010 harus mencapai sarana air minum sebanyak 1379 lokasi, dan peningkatan sanitasi di 61 lokasi. Sedangkan indikator kinerja pada tahun 2014 bidang kesehatan lingkungan yaitu tercapainya program air bersih yang menjangkau 67 % penduduk dan peningkatan sanitasi dasar berkualitas untuk 75 % penduduk.

Dengan demikian, penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan karena lingkungan yang tidak sehat seperti diare, ISPA, TBC, malaria, frambusia, demam berdarah, flu burung diharapkan akan menurun, ujar Menkes.

Penghargaan yang diberikan berupa, Ksatria Bakti Husada, diberikan kepada individu yang dengan sukarela telah menyumbangkan tenaga, pikiran dan pengetahuannya didalam mengembangkan program kesehatan. Darma baktinya telah dapat dirasakan dan sangat bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara. Penerima penghargaan Ksatria Bakti Husada tahun 2009 berjumlah 16 orang.

Tanda Penghargaan Manggala Karya Bakti Husada diberikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 31 Tim Penggerak PKK Kabupaten/Kota dengan perkembangan Posyandu Purnama dan Mandiri diatas 60% dan yang berhasil mengembangkan kegiatan inovatif dan berbasis masyarakat untuk meningkatkan Lingkungan Sehat.

Selain itu Menkes juga memberikan penghargaan Swasti Shaba kepada 35 pemerintah Kabupaten/Kota yang telah berhasil dalam memberdayakan masyarakat dan swasta mewujudkan penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat. Tanda Penghargaan juga diberikan kepada Dosen Berprestasi pada Institusi pendidikan sebagai hasil penilaian dari Badan PPSDM dan Peneliti Teladan sebagai hasil penilaian Badan Litbangkes.

Sebagai upaya meningkatkan kualitas dan jangkauan informasi kesehatan, Menkes memberikan penghargaan untuk kompetisi jurnalistik kepada Aries Kelana dari Majalah GATRA dengan judul tulisan “Jejak Kaki Gajah di Tangerang” sebagai juara I; wartawan Republika Ferry Kisihandi dengan judul tulisan “Flu Babi Dekati Pandemi” sebagai juara II; dan Heru Triono, wartawan Koran Tempo, dengan judul berita “Penyakit Menular yang Tidak Menular” sebagai juara III.

Penghargaan juga diberikan kepada pemenang Lomba Poster Obat Generik untuk pelajar, yaitu Agustan, Faisal Samsyudin dan Faisal UA sebagai juara I – III. Sedangkan harapan I s/d III jatuh pada Annastasia Melisse Putri, Sabrina Yula Amelia dan Wardana Saputra.

Menciptakan Sumberdaya Kesehatan yang bermutu tinggi dan profesional membutuhkan motivasi, dedikasi dan loyalitas Widyaiswara. Untuk itulah Menkes memberikan penghargaan kepada Widyaiswara berprestasi nasional yaitu Dr. Suparman, M.Si, M.Kes dari Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto sebagai juara I; H. Alam Pamilihan Harahap, SKM dari Balai Pelatihan Kesehatan Nasional Lemahabang sebagai juara II; dan juara III Dr. Drs. Setiyono, MBA, M.Kes, M.Pd. dari Balai Besar Pelatihan Kesehatan Jakarta.

Menkes juga memberikan penghargaan kepada Perpustakaan terbaik di sektor Kesehatan. Untuk kategori Perpus RS Vertikal Depkes, Puslitbangkes dan Balai Pelatihan Kesehatan dimenangkan oleh Perpustakaan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Sistem Kebijakan Kesehatan, Surabaya sebagai juara I; Perpustakaan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta; dan Perpustakaan Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor sebagai juara III untuk Sedangkan untuk kategori perpustakaan Politeknik Kesehatan peringkat I dimenangkan oleh Politeknik Yogyakarta; peringkat II oleh Politeknik Palangkaraya; dan peringkat III oleh Politeknik Malang. Sumber berita link

Sumber :

  1. Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id, info@puskom.depkes.go.id, kontak@puskom.depkes.go.id.